logo SUARA MERDEKA
Line
Rabu, 2 Oktober 2002 WACANA MAHASISWA
Line
Organisasi Itu Tidak Lagi Berguna
Oleh: Rumekso Setyadi Jurusan Ilmu Sejarah UGM
BERBICARA mengenai organisasi kemahasiswaan kita harus membedakan antara organisasi ekstra dan intra kampus. Organisasi ektra merupakan organisasi di luar lembaga formal universitas. Pola rekrutmen dan kaderisasi biasanya didasarkan atas persamaan ideologi atau kelompok aliran. Yang kedua organisasi intra yang merupakan bagian dari sistem kelembagaan universitas. Pola rekrutmen dan kaderisasi lebih terbuka.
Kebutuhan akan organisasi merupakan suatu keniscayaan bagi sebuah kelompok sosial. Demikian halnya mahasiswa. Organisasi kemahasiswaan merupakan media efektif mengartikulasikan ide dan teori-teori normatif yang didapat dari kuliah untuk dipraktikkan dalam praksis sosial.
Sebagai individu yang hidup dalam lingkungan sosial dan akademis, mahasiswa mempunyai pengalaman yang lebih dibandingkan masyarakat lainnya. Hal ini disebabkan karena kampus menyediakan ruang kebebasan publik sebagai pengejawantahan dari kebebasan akademis, di mana merupakan syarat bagi pendidikan di universitas. Bahkan seringkali universitas diidentikkan sebagai miniatur negara demokrasi di mana kebebasan sangat dijunjung tinggi.
Kondisi demikian membentuk mahasiswa menjadi sosok kritis dan tanggap. Di sinilah peranan organisasi kemahasiswaan menjadi mutlak diperlukan, kritik dari mahasiswa akan lebih efektif dan akan mendapatkan perhatian apabila mereka mengorganisasikan diri dalam kelompok penekan dibandingkan suara-suara individu. Sebagai kelompok penekan seringkali organisasi kemahasiswaan harus berhadapan dengan negara dan penguasa yang tidak demokratis.
Dapat kita lihat bagaimana pengorganisasian mahasiswa lewat Dewan Mahasiswa (Dema) di awal Orde Baru 1970-an. Dema memainkan peranan yang penting dalam menentang penanaman modal Jepang di 1974. Demikian juga ketika pada 1978 Dema-dema mengajukan tuntutan supaya Soeharto tidak menjabat sebagai presiden lagi. Dewan mahasiswa pada waktu itu memainkan peranan strategis untuk melakukan kontrol terhadap pemerintahan Orba. Tetapi karena masih pada tahap awal konsolidasi rezim, pemerintah Orba kemudian memberangus gerakan Dema dan memenjarakan para pemimpinnya.
Upaya Mengontrol
Kemudian diikuti upaya mengontrol organisasi mahasiswa dan mendepolitisasi kampus. Lewat Menteri Pendidikan Daud Yusuf, pemerintah Orba mengeluarkan NKK/BKK. Kampus dibirokratkan dengan menempatkan rektor di bawah kontrol Menteri Pendidikan, sedangkan organisasi kemahasiswaan di bawah kontrol rektorat. Pascapemberangusan Dema pemerintahan Orba menyeragamkan organisasi kemahasiswaan dengan membentuk senat dan BEM. Sekilas memang seolah-olah kedua organisasi mencerminkan wajah demokrasi di mana menempatkan senat sebagai legislatif dan BEM eksekutifnya. Tetapi sebenarnya kebijakan ini tidak lebih dari upaya mengontrol dan bagian dari penjinakan mahasiswa. Organisasi mahasiswa dibuat tersentralisasi dan berjenjang mirip seperti mesin birokrasi negara. Ini berbeda saat Dema menjadi organisasi kemahasiswaan, di mana prinsip desentralisasi dan otonomi Dema sampai tingkat fakultas dijamin.
Belum lagi terjadi tumpang tindih pembagian kerja antara senat dan BEM, terkadang malah terjadi persaingan. Tidak jarang juga organisasi kemahasiswaan menjadi kendaraan bagi pengurusnya untuk meraih jabatan politik.
Menguatnya Golkar tidak lepas dari peran para alumni organisasi kemahasiswaan yang aktif pascatahun 1966. Para alumni itu menduduki jabatan-jabatan politik dan birokrasi strategis semasa Orde Baru. Dengan jabatan dan fasilitas yang dimilikinya mereka berusaha intervensi terhadap organisasi kemahasiswaan. Di sini organisasi kemahasiswaan sudah kehilangan watak netralitasnya dan berubah sebagai organisasi kepanjangan tangan politisi.
Banyak kepentingan yang bermain untuk memanfaatkan organisasi kemahasiswaan dalam tujuan-tujuan pragmatis. Organisasi ekstra kampus sering memanfaatkan senat dan BEM sebagai lahan menarik kader. Di sini pertarungan antara kelompok mayoritas dan minoritas terjadi. Apabila suatu kelompok organisasi ekstra kampus mempunyai pengaruh kuat maka mereka akan berusaha mendominasi senat maupun BEM di segala tingkatan. Keadaan yang demikian memicu perpecahan di kalangan kelompok mahasiswa dan menumbuhkan sikap apatis serta ketidakpercayaan mahasiswa terhadap organisasi yang ada.
Tidak Berguna
Di beberapa kampus sudah ditawarkan bentuk pemerintahan mahasiswa sebagai alternatif organisasi. Demokrasi diaplikasikan dalam praktik, dengan berusaha melibatkan mahasiswa berperan serta. Partai-partai mahasiswa didirikan untuk ikut serta dalam pemilihan presiden mahasiswa dengan cara melakukan kampanye di tiap-tiap fakultas. Walaupun secara formal praktik demokrasi sudah dijalankan, tetapi tingkat apatisme mahasiswa terhadap organisasi kemahasiswaan masih sangat tinggi. Hal ini disebabkan beberapa faktor.
Pertama, depolitisasi terhadap mahasiswa dengan diberlakukannya rezim NKK/BKK telah berhasil mengontrol semua aktivitas mahasiswa. Apalagi dengan beban SKS yang ketat membuat mahasiswa harus belajar keras memenuhi kelulusan sesuai target. Sehingga mereka beranggapan belajar adalah yang utama, sementara berorganisasi dianggap tidak berguna.
Kedua, pertarungan aliran dan ideologis yang dibawa organisasi-organisasi ekstra universitas ke dalam kampus tidak memberikan ruang bagi kelompok-kelompok minoritas dan mahasiswa yang netral untuk mengartikulasikan ide-idenya. Dominasi kelompok mayoritas hanya menyuarakan kepentingan golongannya sendiri.
Ketiga, intervensi dari orang luar yang membawa kepentingan politik telah membuat ketergantungan organisasi kemahasiswaan. Para pengurus organisasi kemahasiswaan lebih berorientasi kepada kepentingan pragmatis untuk bisa dekat pusat kekuasaan dengan tujuan mendapatkan jabatan politik atau birokratis.
Apabila ketiga permasalahan ini tidak dapat diatasi, mustahil organisasi kemahasiswaan akan mendapatkan tempat di kalangan mahasiswa sendiri. Diperlukan proses reorientasi terhadap organisasi kemahasiswaan. Mahasiswa harus menginventarisasi kebutuhan mereka, untuk apa organisasi dibuat kalau tidak untuk memperjuangkan kepentingan mereka. Organisasi kemahasiswaan akan lebih efektif apabila bersifat terbuka, independen dengan prinsip kesetaraan, pluralitas tanpa melihat latar belakang aliran, ideologi atau sifat pembeda lainnya.(33)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar