Jumat, 25 Desember 2009

http://www.erdeka.com/berita.php?act=full&id=31&kat=15(Pokok-Pokok Pikiran Tentang Peran Media Lokal dalam Kampanye MDGs)
Perang melawan kemiskinan yang menjadi bahagian dari kampanye Mellinium Development Goals ( MDGs), merupakan tugas dan tanggungjawab semua pihak, tak terkecuali masyarakat pers. Termasuk pers di daerah Riau. Dengan jargon yang agak bombastis, perang melawan kemiskinan bisa disamakan dengan Jihad. Jihad Fisabilillah! Karena kemiskinan itu menjadi musuh umat manusia. Siapapun dia!

Tahun lalu, Harian Riau Pos dalam acara Ulang Tahunnya yang ke-15 meluncurkan Gerakan Hibbah Sejuta Buku (GHSB) bekerja sama dengan Pemda Riau dan PKK Riau. Program itu diluncurkan bersama oleh Gubernur Riau Rusli Zainal dan Ketua DPRD Riau Chaidir. Kepada kedua Petinggi Riau itu saya katakan bahwa gerakan itu merupakan salah satu peran nyata pers daerah untuk turut serta memerangi kemiskinan, khususnya di Riau. Sebab, kemiskinan itu tidak mungkin bisa dikurangi, apalagi di hapus, kalau masyarakatnya tidak cerdas, tidak terdidik, dan tidak memperoleh informasi yang memberi mereka semangat untuk bangkit dari kemiskinan. Gerakan Hibbah Sejuta Buku itu juga bahagian dari dukungan pers terhadap Strategi Pembangunan Riau 2003-2008 yang dikenal dengan K2I (Memberantas Kemiskianan dan Kebodohan, melalui Pembangunan Infrastruktur).

Pers daerah sebagai bahagian dari masyarakatnya tempat pers itu hidup, tumbuh dan berkembang, yang mengemban misi ikut serta mencerdaskan kehidupan bangsa dan mendorong masarakatnya maju, harus melakukan gerakan-gerakan strategis demikian itu. Mengingat pers memilki akses dan kesempatan yang paling kuat dan luas kepada masyarakat di mana saja. Agar pers tidak hanya berhenti sebagai sebuah media yang berwajah dingin. Selalu terkesan menakutkan. Tukang kritik dan tukang menyalahkan. Tapi tidak pernah berbuat.

Saat ini, kondisi pers Indonesia, khususnya pers daerah, berada dalam kondisi yang sangat ideal untuk melakukan tugas-tugas tersebut. Ada beberapa indikator yang dapat disimak :

1. Regulasi di Indonesia setelah era reformasi, memberikan Pers Indonesia kondisi yang sangat baik untuk tumbuh dan berkembang secara sehat. UU No 40/1999, memberikan laluan Pers Indonesia untuk menjalankan tugasnya sebagai pers yang bebas dan bertanggungjawab. Dijamin dalam UUD 45, nyaris seperti kebebasan yang dinikmati Pers Amerika Serikat. Perlindungan konsitusi ini meletakkan Pers Indonesia sebagai kekuatan yang sangat nyata sebagai pilar keempat dari demokrasi di Indonesia. Dan hanya pers yang bebaslah dan merdeka itulah yang dapat menjalankan tugas dan kewajiban secara penuh, terutama untuk menjadi penggerak semangat dan peran serta publik untuk berjuang melawan kemiskinan itu.
2. Kemajuan teknologi komunikasi dan informasi membuat pers Indonesia berkembang cepat dan terbuka. Inilah era multi media. Dari mana saja arus informasi masuk, dan dalam posisi di manapun dapat segera ikut serta menyebarluaskan informasi itu. Media penyebarluasan juga menjadi sangat beragam, dan kompetitif. Tidak hanya media cetak, tapi media elektronik, internet, dan perangkat multi media lain. Siapapun sekarang bisa menjadi “wartawan“, termasuk para blogger. Kini sudah tumbuh dan berkembang apa yang dinamakan “citizen journalism“. Dengan SMS saja sebuah informasi yang bernilai dapat menjadi berita besar dan mengubah sejarah.
3. Era otonomi daerah memberi ruang bagi tumbuh dan berkembang pers daerah yang sehat dan berskala nasional. Sekarang ini sudah tak ada lagi istilah pers nasional dan pers daerah. Semuanya sudah menjadi pers nasional, tinggal dimana pers itu tumbuh dan berkembang. Otonomi juga memberi ruang bagi meningkatnya minat baca, meningkatnya oplah media cetak , dan billing iklan. Riset media index yang dilakukan oleh lembaga survey seperti Nielsen Media Research menunjukkan media yang berpembaca paling besar di Indonesia, bukan di Jakarta, tapi di daerah. Prosentase belanja iklan di media-media nasional, kini hanya 50 % yang dibelanjakan melalaui agensi iklan di Jakarta. Selebihnya diputuskan di daerah dengan harga lokal, dan strategi pasar lokal. Otonomi daerah telah memberi peluang lahirnya media-media yang mampu secara finansial, dan dapat dengan kontinyu menyisihkan sebahagian dari laba mereka untuk diinvestasi dalam program CSR (Corporate Social Responsibility). Dalam berbagai sektor. Ekonomi, budaya, dan sosial.
4. Otonomi daerah juga menumbuhkan gaya jurnalistik yang lebih akomodatif dan memihak kepada kepentingan komunitasnya, dan membebaskan diri dari doktrin pers bebas yang berstandar ganda. Pers daerah yang berkembang di Riau, menjadi pembela dan pejuang daerahnya dalam menghadapi berbagai tugas dan dilema masa depan daerahnya, masyarakatnya, ekspektasinya, dan cita-cita mereka. Tiap hari pers daerah menyajikan liputan-liputan yang memberi harapan pembacanya untuk melihat matahari esok yang lebih cerah, lebih penuh harapan. Di era otonomi daerah ini, tiap media daerah mempunyai agenda setting masing-masing yang meletakkan kepentingan daerah dan publiknya sebagai stakeholder. Jakarta bukan lagi segala-galanya.
5. Memang, masih terdapat banyak kendala dan kelemahan dalam membangun pers daerah yang kuat, berwibawa, dan menentukan. Antara lain masih rendah dan lemahnya kualitas SDM pers lokal. Baik karena latar belakang pendidikan, pengalaman, maupun kemampuan secara finansial, agar dapat bekerja secara profesional dan handal. Masih adanya ancaman dari elite kekuasaan tertentu yang ingin mengurangi dan mengendalikan kebesasan pers yang ada sekarang dengan dalih “pers sekarang sudah kebablasan“.
6. Masih banyak kebijakan pemerintah secara nasional yang belum memperlakukan media sebagai bahagian dari perjuangan meningkatkan martabat dan kesejahteraan bangsa. Kampanye masyarakat pers Indonesia “No Tax for Knowledge“, agar atas semua produk pencerdasan bangsa (media cetak, buku, dan produk lainnya) dibebaskan dari pajak, masih tidak ditanggapi secara sungguh-sungguh, termasuk kalangan legislatif. Harga koran di Indonesia termahal di seluruh Asia.
7. Persaingan antar media pun memasuki saat-saat kritis. Bangkitnya industri pers berbasis multimedia, seperrti internet dan lainnya, cepat atau lambat akan menyisihkan media cetak, khususnya surat kabar. Karena itu, tak ada pilihan lain bagi media cetak kecuali melakukan konvergensi dengan menggunakan secara maksimal keunggulan teknologi media menjadi kekuatan produknya. Persaingan ini juga akan melemahkan semangat “perang melawan kemiskinan”, karena akses masyarakat miskin terhadap media modern, seperti internet, televisi, dan lainnya masih lemah, dibandingkan media cetak.


Demikianlah antara lain pokok-pokok pikiran ini yang pada hakekatnya ingin menunjukan, bahwa saat ini peran dan kontribusi pers daerah terhadap pembangunan hari depan masyarakatnya, daerahnya, negaranya, makin besar, dan makin nyata. Tinggal bagaimana para pembuat keputusan di belakang meja pengelola media itu memandang keberadaan mereka. Menjadi rahmat bagi daerahnya, atau menjadi mudarat. Atau cuma jadi pencari untung, dan tukang kompor keresahan masyarakatnya yang terpuruk.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar